PENILAIAN TERNAK POTONG DAN EVALUASI LANJUT
“Bobot Hidup dan Fleshing
Index Kambing Kacang”
MAKALAH
Oleh:
Dino Eka
Putra
12/339995/PPT/00809
PROGRAM
PASCASARJANA
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pengembangan usaha di bidang
peternakan ini, peternak akan menghadapi berbagai permasalahan seperti aspek
modal,aspek teknis dan aspek pasar terutama sekali dalam penjualan ternak.
Dalam tata niaga ternak seperti kambing kacang, bobot hidup dan fleshing index merupakan informasi yang
sangat penting untuk diketahui.
Di
Indonesia, khususnya Propinsi Sumatera Barat dalam pemasaran ternak potong,
bagi para pedagang penafsiran bobot karkas mempunyai kecenderungan yang lebih
besar dari pada menggunakan cara-cara lain dalam transaksi jual beli. Untuk
mendapatkan bobot karkas yang tinggi pada umumnya berasal dari ternak yang
mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar.
(Williamson
dan Payne, 1993) menyatakan bahwa dalam penilaian bobot hidup dan bobot karkas
dari seekor ternak dengan menggunakan ukuran-ukuran tubuh, pada umumnya dapat
kesalahan kecil.
Fleshing
index adalah merupakan sebuah nilai yang diperoleh dari hasil pembagi bobot
karkas dibagi dengan panjang karkas (Santosa, 1994) .Semakin tinggi bobot
karkas persatuan panjangnya, maka semakin baik konformasi karkas tersebut
artinya jumlah daging yang dihasilkan karkas semakin banyak. Apabila bobot
karkas yang dihasilkan lebih rendah persatuan panjangnya maka karkas tersebut
mempunyai konformasi yang jelek, atau jumlah daging yang dihasilkan lebih
sedikit (Yeates et al, 1975). Karkas
yang baik harus penuh dengan perdagingan dimana proporsi tulang sedikit, lemak
optimal dan daging banyak.
Adapun hubungan antara bobot hidup
dengan bobot karkas dan panjang karkas, akan memudahkan dalam menentukan bobot
hidup optimum yang menghasilkan berat karkas tinggi dan berkualitas baik.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memberi judul makalah ini “Bobot
Hidup dan Fleshing Index Kambing Kacang”
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari makalah ini adalah untuk
mengetahui karakteristik
bobot hidup dan
fleshing index kambing kacang.
Manfaat dari makalah ini diharapkan agar dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternak kambing terutama sekali
peternak kambing kacang dalam mengetahu
karakteristi fleshing
index berdasarkan bobot hidup. Serta
menambah pembendaharaan ilmiah dalam bidang peternakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Ternak Kambing Kacang
Diperkirakan
ternak kambing merupakan hewan yang kedua didomestifikasi setelah anjing.
Menurut Williamson dan Payne (1993) kambing ada lima spesies: Capra Hircus, kambing
sebenarnya, termasuk Bezoar (Capra Hircus dan Aegagrus), Capra Ibex; Capra
Cuacasica. Tur caucasia; Capra Pyrenaica, Ibex Spanyol; Capra Falconeri,
Makhor.
Kambing yang kita kenal sekarang
ini, diperkirakan diturunkan dari tiga jenis kambing liar; Capra Hircus,
berasal dari daerah Pakistan
dan Turki. Capra Falconeri, berasal dari daerah sepanjang Kasmir. Capra Prisca,
berasal dari daerah sepanjang Balkan (Sosroamidjojo, 1985).
Menurut Sumaprastowo (1980),kambing
mempunyai sifat yang lebih lincah dan sanggup membela diri dengan berkelahi.
Beberapa dari bangsa kambing berjenggot dan mempunyai kulit dibagian telinga,
kambing jantan mempunyai bau yang khas dan tajam dibanding kambing betina.
Mulyana (1982), mengemukakan karena
adanya modifikasi (penyesuaian bentuk luar tubuh terhadap lingkungan) maka
sekarang kita mengenal dari bentuk yang kita lihat dan pelihara. Kambing yang
ada di Indonesia sekarang
berasal dari: (1) kambing asli yang diternakkan turun-temurun, (2) kambing
impor yang diturunkan secara murni, (3) kambing impor yang disilangkan dengan
kambing asli Indonesia.
Kambing kacang merupakan hewan
pememah biak berkuku genap dan hampir semuanya merupakan hewan pegunungan yang
suka hidup di lereng-lereng curam serta gemar sekali mencari hijauan dedaunan
yang terletak disebelah atas (Sarwono, 1991). Lebih lanjut Devendra (1974)
menyatakan bahwa kambing sanggup hidup dan berkembang biak di daerah-daerah
kering atau lembab serta dapat hidup dengan pakan yang rendah kualitasnya.
Mengenal asal-usul kambing, kambing
kacang yang ada di Indonesia
berasal dari India Muka atau Tanah Hindu yang dibawa pertama kali ke Indonesia
beratus-ratus tahun yang lalu (Devendra, 1974). Sementara menurut Sosroamidjojo
(1973) dan Soedjai (1975) menyatakan bahwa asal-usul kambing kacang yang
terdapat di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun menurut Natasasmita
(1978) menyatakan bahwa kambing kacang adalah kambing asli Indonesia.
Tanda-tanda kambing kacang adalah
badan kecil, warna bulu kebanyakan coklat belang hitam, hitam adakalanya putih,
bulunya pendek dan kalau dipelihara dengan baik bulunya akan mengkilap (Sosroamidjojo
1973, Soedjai 1975 dan Rumich 1976). Sedangkan menurut Natasasmita (1978)
tanda-tanda kambing kacang ialah garis profil lurus atau cekung, daun telinga
pendek dengan sifat berdiri tegak mengarah kedepan dengan panjang lebih kurang
15 cm, sedangkan pada yang betina lebih kurang 8 cm. Pada kambing betina
bulunya pendek kecuali pada bagian ekornya tumbuh pula bulu panjang pada dagu
(jenggot), tengkuk,pundak dan punggung sampai ekor dan paha sebelah belakang
warnanya adalah putih, hitam dan cokelat, kebanyakan kambing ini berwarna
campuran dari kedua atau ketiga warna tersebut. Tinggi kambing kacang jantan
berkisar antara 60-65 cm dan kambing kacang betina berkisar 54-58 cm, sedangkan
bobot kambing kacang jantan berkisar 25-30 kg dan betinanya 20-25 kg.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak
(Wahid, 1965) dan dari Yunani, serta
Cyprus (French, 1970) menyatakan bahwa kambing relative lebih efisien dan
ekonomis dalam pemeliharaannya daripada beberapa ternak ruminansia lain dalam
fungsi ini. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan perubahan
yang meliputi bobot hidup, bentuk dan koposisi tubuh, termasuk perubahan
komponen-komponen tubuh seperti otot, tulang dan lemak dan organ serta komponen
kimianya terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas.
Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan dibagi menjadi dua
bagian, yakni pertumbuhan sebenarnya (true
growth) dan pertumbuhan dalam proses penggemukan (fattening). Pertumbuhan sebenarnya meliputi pertumbuhan jaringan
otot, tulang dan organ dalam, sedangkan penggemukan meliputi peningkatan
jaringan lemak (depot lemak) yang terjadi diantara otot (lemak intermuskuler),
lapisan bawah kulit (subkutan), dan terakhir diantara serabut otot (lemak
intramuskuler).
C. Bobot hidup
Menurut
Forrest et al. (1975) menyatakan
dengan meningkatnya bobot hidup maka bagian-bagian tubuh juga meningkat. Bobot
hidup adalah bobot badan yang ditimbang sebelum dilakukan pemotongan setelah
pemuasaan selama 12-24 jam (Natasasmita, 1978). Dinyatakan oleh Devendra dan Burns (1994), berat hidup kambing kacang
berkisar dari 12,9 sampai 24,7 kg pada yang jantan dan antara 11,2 sampai 19,7
kg pada yang betina.
Menurut Soeparno (1998) bahwa untuk
mencapai bobot hidup dari seekor ternak dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti umur, genetik, jenis kelamin, bangsa, makanan,
temperature dan pengangkutan.
D. Fleshing Index
Fleshing
Index adalah bobot karkas yang diperoleh dari seekor ternak dibagi panjang
karkas pada saat dipotong (Santosa, 1992). Karkas yang baik harus penuh dengan
perdagingan dimana proporsi tulang sedikit, lemak optimal dan daging banyak.
Hal tersebut dapat diduga dengan fleshing
index.
Yeates et al. (1975) menyatakan
bahwa panjang karkas diukur dari anterior tulang panggul terpotong sampai ujung
tulang bahu. Panjang karkas dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan
tulang. Menurut Forrest et al. (1975) tulang sangat penting dalam pertumbuhan
yang akan menentukan ukuran tubuh ternak. Tulang terlebih dulu tumbuh, karena
tulang merupakan kerangka yang menentukan komformasi tubuh, kemudian daging dan
terakhir lemak.
Tulang bersama-sama dengan daging
dan lemak akan menentukan komformasi tubuh ternak yang diklarifikasikan ke dalam
ternak kurus, sedang dan gemuk. Sebagai contoh ukuran badan dari berbagai tipe
kambing secara efektif digunakan untuk memprediksi bobot potong optimum untuk
kambing yang digemukkan (Minish dan Fox, 1979). Dengan pengklasifikasian
tersebut maka fleshing index yang
dihasilkan dari seekor ternak dapat diduga melalui pengukuran panjang karkas
dan bobot karkas (Soeparno, 1991).
1. Bobot Karkas
Bobot
karkas dari seekor ternak adalah bobot ternak setelah dipotong, dikeluarkan
kulit, kepala, paru-paru, jantung, isi perut, keempat kaki mulai dari carpus
sampai tarsus kebawah kecuali ginjal, testes, ekor dan leher semua ikut
ditimbang (Soeparno, 1998). Dinyatakan
oleh Devendra dan Burns (1994), bobot karkas kambing kacang berkisar dari 5,54
sampai 10.62 kg pada yang jantan.
2. Panjang Karkas
Panjang karkas dipakai sebagai
kriteria dalam penilaian karkas berkaitan erat dengan daging yang diperoleh
dari karkas. Soeparno (1998) menyatakan selama pertumbuhan dan perkembangan,
bagian-bagian dan komonen tubuh mengalami perubahan termasuk tulang, otot dan
lemak yang merupakan komponen utama penyusun tubuh. Tulang sangat penting dalam
pertumbuhan yang akan menentukan ukuran tubuh ternak. Tulang lebih dahulu
tumbuh karena tulang merupakan kerangka yang menentukan komformasi tubuh,
kemudian daging yang terakhir lemak (Forrest et al, 1975). Berdasarkan penelitian Rommy terlihat bahwa rata-rata hasil perhitungan panjang karkas
pada kambing kacang umur 1 tahun berkisar sekitar 56,96 cm.
E. Bobot Daging Karkas dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya
Bobot
karkas adalah bobot karkas setelah dipotong dikeluarkan seluruh tulang
belulangnya (Natasasmita, 1978). Daging merupakan komponen utama karkas yang
mempunyai nilai ekonomis sekaligus merupakan faktor utama penentu
kualitas/bobot karkas. Mukhtar (1975) mengemukakan bahwa persentase karkas
terhadap bobot hidup rata-rata kambing jantan adalah 45, 75 ± 0, 31 % dan
betinanya 44, 15 ± 0, 78 %.
Adapun fakto-faktor yang
mempengaruhi bobot karkas. Menurut Soeparno (1995) bahwa untuk mencapai bobot
hidup dari seekor ternak dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti:
1. Bangsa Ternak
Menurut Anderson dan Kisser (1963), bahwa
karkas kambing sangat berbeda dengan karkas domba. Bila dibandingkan dengan
domba, ternak kambing menghasilkan karkas lebih tinggi perunit bobot badan
dengan kandungan lemak yang lebih rendah.
Menurut Holmes
et al. (1982) bobot badan seekor ternak dipengaruhi oleh faktor bawaan dan
faktor lingkungan.
2. Umur
Umur ternak mempengaruhi bobot badan dan bobot karkas dari seekor ternak,
selanjutnya dikatakan oleh Williamson dan Payne (1993), makin dewasa seekor
ternak makin bertambah berat hidupnya sampai dewasa lalu berkurang beratnya
karena kondisi makin menurun. Parakkasi (1998) menyatakan bahwa ternak
dalam keadaan normal bobot badan dewasa akan dicapai pada umur tertentu, jadi
faktor umur erat hubungannya dengan bobot atau ukuran badan. Menurut Burton dan Reid (1970) yang dilaporkan
dalam Soeparno (1998), bahwa variasi komposisi tubuh sebagian besar didominasi
oleh variasi berat tubuh dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur.
3. Jenis Kelamin
Williamson dan Payne (1959)
menyatakan faktor kelamin lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak,
terutama pada hewan mamalia jantan dimana hewan yang jantan lebih besar dan
lebih berat apabila dibandingkan dengan hewan betina.
4. Pakan
Pakan
adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena adanya pemberian pakan yang
baik dan cukup, maka badan ternak tersebut akan bertambah bobot badannya
(Maynard dan Loossly. 1956). Selanjutnya dijelaskan bahwa zat-zat makanan yang
terkandung dalam bahan makanan mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan kemampuan
berproduksi dibutuhkan pakan yang bernilai gizi tinggi.
5. Temperatur
Williamson
dan Payne (1978) bahwa temperatur yang tinggi membuat ternak berkurang nafsu
makanannya sedangkan nafsu minumnya bertambah, proses produksi menurun dan
akhirnya terjadi penurunan bobot ternak.
6. Kondisi Tubuh
Kondisi tubuh mempunyai hubungan yang erat
dengan bobot hidup dan bobot karkas. Ternak yang berkondisi tubuh gemuk
mempunyai bobot hidup dan bobot karkas yang lebih tinggi daripada ternak yang
berkondisi tubuh sedang dan berkondisi kurus pada umur dan jenis kelamin yang
sama (Natasasmita, 1979).
7. Pengangkutan
Adalah
problem yang harus diperhatikan dalam tata niaga ternak (Mosher, 1965).
Ditambahkan oleh Ensminger (1969) bahwa penyusutan badan ternak yang
diakibatkan pengangkutan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat
kekenyangan, jenis dan kualitas makanan yang diberikan selama pengangkutan
jarak, alat, lama pengangkutan, cuaca, umur, bobot badan ternak ketika
diangkut, jumlah dan jenis ternak pada alat pengangkut serta perlakuan para
petugas yang mengangkut ternak tersebut, baik ketika diangkut maupu sewaktu
akan dipotong.
F. Penentuan Kondisi Tubuh Ternak
Menurut
Suwarno (1980), dalam penentuan kondisi tubuh ternak ditetapkan menurut
gambaran keseluruhan tubuh, terutama dengan memperhatikan tonjolan rusuk,
tulang panggul, kecekungan lapar dan perdagingan di daerah bahu, pinggang dan paha.
Natasasmita (1979), menyatakan kondisi tubuh ternak dapat digolongkan pada
kondisi gemuk apabila semua tulang rusuk tidak ada yang kelihatan menyembul
keluar, lekuk lapar tidak begitu jelas terlihat dan bila diraba pada pangkal
ekor terasa lipatan tebal yang mengandung banyak lemak. Apabila sebagian atau
tiga buah tulang rusuk kelihatan menyembul keluar dan lipatan pada bagian
pangkal ekor tidak terlalu tebal maka pada kondisi ini digolongkan pada kondisi
sedang. Selanjutnya bila penonjolan tulang rusuk dan tulang panggul jelas
sekali terlihat serta lekuk laparnya sangat cekung digolongkan pada kondisi
kurus.
G. Penentuan Umur Ternak
Ternak
kambing mempunyai empat pasang (8 buah) gigi seri. Gigi seri susu mulai tumbuh
pada saat ternak kambing lahir. Setelah anak berumur satu bulan barulah lengkap
giginya pada umur tertentu, gigi seri susu akan tanggal dan diganti dengan gigi
seri tetap proses tanggal dan pergantian gigi seri ini yang dapat dipakai untuk
patokan dalam melakukan penaksiran umur (Rangkuti, 1989).
Untuk menentukan umur biasanya
dilakukan dengan melihat susunan gigi, dimana gigi dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu gigi seri dan geraham. Gigi juga dapat dibagi menjadi dua jenis
menurut pembentukkannya yaitu gigi susu (temporer) dan gigi tetap (permanen).
Gigi seri susu dan tetap hanya ditemukan pada bagian depan dari rahang bawah.
Bagian yang sama pada rahang atas tidak ada gigi tapi dilengkapi bantalan
keras. Delapan buah gigi seri susu atau tetap tumbuh berpasangan yaitu tengah,
tengah dalam, tengah luar dan sudut (Mestika dkk, 1993).
Table 1 :
Pergantian Gigi Seri Dihubungkan Dengan Umur Pada Ternak Kambing
No
|
Pergantian
pada Gigi Seri
|
Umur
(tahun)
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Gigi seri
belum ada yang berganti (I₀)
Gigi seri
dalam berganti (I₁)
Gigi seri
tengah dalam berganti (I₂)
Gigi tengah
luar berganti (I₃)
Gigi seri luar
berganti, atau semua gigi seri telah berganti (I₄)
|
Kurang dari 1 tahun
1 - 1,5 tahun
1,5 - 2 tahun
2,5 - 3 tahun
3 - 4 tahun
|
Sumber : Sarwono
(1994)
Rumus gigi =
- Gigi seri ( I ) = Incesivi
- Gigi taring ( C ) = Canini
- Gigi geraham muka ( P ) = Premolaris
- Gigi geraham belakang ( M ) = Molaris
Pergantian
dan pertumbuhan gigi seri kambing sangat teratur waktunya. Gigi seri
menggantikan gigi seri susu dengan bentuk yang lebih besar, kuat dan warnanya
lebih kekuningan. Berdasarkan pergantian dan pertumbuhan gigi seri, umur
kambing bisa ditentukan (Sosroamidjojo, 1985).
KESIMPULAN
Bobot hidup adalah
bobot badan yang ditimbang sebelum dilakukan pemotongan setelah pemuasaan
selama 12-24 jam (Natasasmita, 1978). Fleshing
Index adalah bobot karkas yang diperoleh dari seekor ternak dibagi panjang
karkas pada saat dipotong (Santosa, 1992). Dengan
pengklasifikasian tersebut maka fleshing
index yang dihasilkan dari seekor ternak dapat diduga melalui pengukuran
panjang karkas dan bobot karkas (Soeparno, 1991). Bobot karkas dari seekor
ternak adalah bobot ternak setelah dipotong, dikeluarkan kulit, kepala,
paru-paru, jantung, isi perut, keempat kaki mulai dari carpus sampai tarsus
kebawah kecuali ginjal, testes, ekor dan leher semua ikut ditimbang (Soeparno,
1998). Panjang karkas dipakai sebagai kriteria dalam penilaian karkas berkaitan
erat dengan daging yang diperoleh dari karkas. Adapun faktor yang mempengaruhi bobot karkas yaitu bangsa ternak, umur,
jenis kelamin, pakan, temperatur, kondisi tubuh ternak dan pengangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
A.L and R. Kisser. 1963. Introduction Animal Science. The Mac Milon Co, New
York.
Anggorodi,
R. 1984. Ilmu Peternakan Umum. PT. Gramedia, Jakarta.Bandini, Y. 1997. Sapi
Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.
Devendra, C. 1974. Studien in Nutrition of the Indigenous Goat of
Malaya III. The Requerment for
Live-Weight Gain. Malaysian Agricultural Journal 46, 98-118.
Forrest,
J.C., E.D. Aberle. H.B. Hedrick, M.D. Judge and R.A. Markel. 1975. Principle of
Meat. Sience. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.
Holmes,
J.H.G., S. Prasetyo., H.M. Miller and E.A. Scheurman. 1982. The effect of heat
and humidikon pregnant forsal goats. J. Anim. Production In Australia.
Vol. 15:541 – 544.
Maynard,
L. A and J.K. Lossly. 1956. Animal Nutrition. Mc. Graw Hill Company Ltd. New Delhi.
Mestika,
I.M. Komang Gede Suryana, I Gusti Lanang Oka, dan Ida Bagus Sutrisna. 1993. Produksi Kambing dan Domba di
Indonesia. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Mosher, A. T. 1965 Cuting
Agricultural Moving Essential for Development and Modernization. Frendich Proger Publisher, New York.
Mulyana, Wahyu. 1982. Cara Beternak Kambing. Pusdiklat BPLPP Deptan,
Jakarta.
Natasasmita,
CH. Lenggu, P.H. Hutabarat, P. Suparman, D. Supandi, H.H.Achmad dan R. S.
Martodikusumo. 1970 Case Study Production Pemotongan Ternak Daging Fakultas
Peternakan IPB dan Direktorat Jendral Peternakan,Departemen Pertanian, Jakarta.
________________. 1979. Ternak Kambing dan Pemeliharaannya. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Parakkasi, A. 1998. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Rangkuti, M. 1989. Pedoman Praktis Beternak Kambing dan Domba Sebagai
Ternak Potong. Kasinus, Yogyakarta.
Rumich, B., 1967. The Goat of
Indonesia. FAO Region Office, Bangkok.
Santosa, U. 1995. Tata Laksana
Pemeliharaan Ternak. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Santoso, RD dan Mustajab, HK,
1992. Analisa Regresi. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Sarwono, B. 1991. Beternak
Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soedjai,
A. 1975. Beternak Kambing. Seri Indonesia Membangun No. 14. Penerbit N. V Masa
Baru, Bandung.
Soeparno. 1998. Ilmu dan
Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
________. 2005. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sumaprastowo, T. 1980. Beternak Kambing yang berhasil. Baharata Karya
Aksara, Jakarta.
Sosroamidjojo, M, Samad. 1973.
Peternakan Umum. Penerbit CV. Yasaguna, Jakarta.
_________________. 1985. Ternak
Potong dan Kerja. Cetakan ke-10. Yasaguna, Jakarta.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik
Suatu Pendekatan Biometrik Edisi 2
Cetakan 2. Alih bahasa B. Sumatri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudjana 1975. Metoda Statistika.
Penerbit Tarsito, Bandung.
Williamson, G dan W.J.A Payne 1993. Pengantar peternakan di daerah
tropis. Cetakan pertama. Terjemahan
SGN. D. Dan Madja. Gadjah Mada Universitas Press,
Yogyakarta.
Yeates, N.T.M. T.N. Edey dan M.K. Hill. 1975. Animal Science.
Reproduction, Climate Meat, Wool.
Pergamon Press. Oxford, New York, Toronto, Sidney.
bagus....
BalasHapus