MAKALAH
PEMULIAAN TERNAK PERAH DAN POTONG
“ASPEK PEMULIAAN TERNAK SAPI DI
SUMATERA BARAT”
Dino
Eka Putra, S.Pt
12/339995/PPT/00809
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA,
2012
BAB I. PENDAHULUAN
Permintaan terhadap daging khususnya
daging sapi di Propinsi Sumatera Barat cendrung meningkat dari tahun ketahun,
tetapi dilain pihak pengadaan daging sapi semakin menurun. Jika hal ini tidak
ditanggulangi dengan cepat maka akan terjadi penurunan penyediaan ternak
potong. Berdasarkan peningkatan konsumsi daging ini maka dapat menjadi faktor
pendorong bagi pemerintah dan peternak untuk mengembangkan peternakan sapi
potong di Propinsi Sumatera Barat umumnya dan Kabupaten/ Kota khususnya.
Berdasarkan
peningkatan jumlah konsumsi daging dan turunannya jumlah populasi sapi tersebut
maka hal ini dapat menjadi faktor pendorong bagi pemerintah dan peternak untuk
melakukan perkembangan peternakan sapi potong di Sumatera Barat umumnya dan
pemerintah daerah Kabupaten pada khususnya.
Dalam rangka meningkatkan produktifitas
ternak sapi dan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat berbagai
usaha telah dilakukan pemerintah, antara lain melakukan persilangan sapi-sapi
lokal dengan sapi-sapi unggul seperti Simmental. Persilangan sapi betina lokal
dengan sapi jantan Simmental dimaksudkan untuk menggabungkan sifat-sifat yang
baik pada masing-masing bangsa tersebut. Sapi lokal mempunyai keunggulan antara
lain relatif tahan terhadap panas, tahan terhadap caplak, dan dapat mengkonsumsi
rumput dengan kualitas kurang, sedangkan sapi Simmental mempunyai keunggulan
yaitu pertumbuhan bobot badan yang
relatif tinggi dibandingkan dengan sapi lokal dan bobot dewasa yang relatif
besar.
Peforman dari suatu individu dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi kedua faktor tersebut. Kedua
faktor tersebut harus saling mendukung untuk mendapatkan peforman sapi yang
optimal, faktor genetik yang baik akan mencapai hasil peforman yang optimal
jika didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, faktor
lingkungan harus didukung oleh faktor genetik yang baik pula sehingga salah
satu faktor tidak dapat diabaikan satu sama lainnya (Hardjosubroto, 1994).
Ternak lokal berperan penting dalam
kehidupan masyarakat pedesaan serta memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan
dengan ternak impor. Sapi lokal, misalnya, memiliki keunggulan daya adaptasi
yang tinggi terhadap pakan berkualitas rendah, sistem pemeliharaan ekstensif
tradisional, dan tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit. Namun,
produktivitas sapi lokal lebih rendah dibanding sapi impor. Sapi Pesisir
merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani peternak
di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan, sebagai ternak potong.
Populasi sapi potong di Sumatera Barat tahun 2010 tercatat 327.013 ekor, jumlah
ini lebih sedikit dari populasi ternak sapi pada tahun 2008 yang tercatat 469.859
ekor (Dinas Peternakan ProvinsiSumatera Barat 2011). Sekitar 28%
dari populasi tersebut terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dan sebagian
besar berupa sapi Pesisir. Menurut Saladin (1983), sapi pesisir termasuk
bangsa sapi berukuran kecil. Namun, sapi pesisir dapat beradaptasi dengan
baik terhadap pakan berkualitas rendah, pemeliharaan secara sederhana, dan
tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit. Sapi Pesisir memiliki
potensi besar dalam penyediaan daging untuk memenuhi gizi masyarakat
dan sebagai ternak kurban. Sapi pesisir berperan penting dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat Pesisir Selatan dan memenuhi kebutuhan daging masyarakat
Sumatera Barat. Namun, keberadaan sapi pesisir belum mendapat perhatian
yang semestinya dari peneliti, masyarakat dan pemerintah, bahkan
populasinya cenderung menurun karena tergusur oleh sapi-sapi eksotik impor yang
mempunyai sifat-sifat unggul.
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat
(2011) melaporkan bahwa populasi sapi pesisir pada tahun 2011 jauh menurun dibandingkan
tahun 2004 dan sedikit meningkat dibandingkan tahun 2008. Populasi sapi di
Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2011 tercatat 93.581 ekor, sedikit
meningkat dari tahun 2008 tercatat 89.995 ekor, dan jauh menurun dibanding
tahun 2004 yang mencapai 104.109 ekor. Penurunan populasi diduga berkaitan
dengan sistem pemeliharaan yang bersifat ekstensif tradisional, tingginya
jumlah pemotongan ternak produktif, terbatasnya pakan, menyempitnya
areal penggemba-laan, dan kurang tersedianya pejantan. Salah satu upaya yang
dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk meningkatkan populasi
dan produktivitas Sapi Pesisir adalah melestarikan dan mengembangkannya. Upaya
pelestarian ini terutama bertujuan untuk mempertahankan kemurnian genetik sapi
pesisir sebagai cadangan plasma nutfah untuk pengembangan
ternak di masa yang akan datang. Pengembangan sapi pesisir dilakukan di
sentra-sentra populasi dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan, pemanfaatan
teknologi, dan pengendalian pengeluaran ternak. Makalah ini menelaah
potensi sapi pesisir dan upaya pengembangannya.
BAB II. PEMBAHASAN
A. PENYEBARAN SAPI PESISIR
Sejarah dan asal usul sapi pesisir belum
diketahui secara pasti. Diduga sapi ini berasal dari India yang dibawa
bangsa Hindu ke Indonesia, atau merupakan sapiliar Indonesia seperti banteng
(Bos sondaicus dan Bos indicus), yang dijinakkan. Sapi ini sama dengan
sapi jawa dan sapi sumatera (Fakultas Peternakan Universitas Andalas 1980). Sugeng
(1992) menyatakan bahwa banteng merupakan sumber sapi asli Indonesia. Sapi
yang ada sekarang merupakan keturunan banteng (Bos bibos) yang dewasa ini
dikenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, sapi Sumatera, dan
sapi lokal lainnya. Otsuka et al (1982) telah menyelidiki asal usul dan hubungan
genealogi beberapa sapi asli Asia Timur dan menyimpulkan bahwa sapi Aceh, sapi Padang
(sapi lokal Sumatera Barat), sapi Thai, dan sapi Cebu (sapi asli Filipina)
termasuk dalam kelompok yang sama. Sapi Pesisir merupakan sapi asli
yang berkembang di kawasan pesisir Sumatera Barat. Saladin (1983) menduga
sapi pesisir sebagai sisa sapi asli yang pada mulanya berkembang di
Kabupaten Pesisir Selatan. Namun, saat ini sapi pesisir
ditemukan pula di Kabupaten Padang Pariaman dan Agam (Anwar 2004).
B. KARAKTERISTIK SAPI PESISIR
Sapi pesisir memiliki bobot badan dan ukuran
tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sapi lokal lainnya. Bobot badan dan
ukuran tubuh sapi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, terutama
pakan (Parker dalam Adrial 2002). Betapapun tingginya potensi genetik
ternak, tanpa diikuti pemberian pakan yang baik, maka penampilan optimal dari
sifat produksi ternak tidak akan tercapai, demikian juga sebaliknya. Sapi
pesisir jantan dewasa (umur 4−6tahun) memiliki bobot badan 160 kg, jauh lebih
rendah dibandingkan dengan bobot badan sapi bali (310 kg), sapi PO (388
kg),sapi aceh (302 kg), dan sapi madura (248kg). Dengan bobot badan yang kecil,
sapi Pesisir berpeluang dijadikan sebagai hewan kesayangan bagi penggemar
sapi mini. Penampilan bobot badan merupakan salah satu penciri suatu bangsa
sapi (breed ). Dengan demikian, sapi pesisir merupakan sumber daya
genetik (plasma nutfah) nasional yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pertambahan
bobot badan harian sapi pesisir jantan dari lahir sampai sapih rata-rata
0,32 kg/ ekor/ hari, lepas sapih sampai umur 2 tahun 0,21 kg/ ekor/ hari, dan
umur 3−4 tahun 0,12 kg/ ekor/ hari. Untuk sapi Pesisir betina,
pertambahan bobot badan dari lahir sampai sapih rata-rata 0,26 kg/ ekor/ hari,
lepas sapih sampai umur 2 tahun 0,19 kg/ ekor/ hari, dan umur 3−4 tahun 0,12 kg/
ekor/ hari (Saladin 1983). Anwar (2004) melaporkan bahwa warna bulu sapi
pesisir memiliki pola tunggal. Warna bulu dikelompokkan menjadi lima warna
utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning (25,51%), coklat (19,96%), hitam
(10,91%), dan putih (9,26%). Sapi pesisir bersifat jinak sehingga mudah
dikendalikan saat pemeliharaan. Sapi memiliki tanduk kecil, pendek, dan mengarah
ke luar seperti tanduk kambing. Sapi jantan memiliki kepala pendek dan membulat,
sedangkan sapi betina mempunyai kepala agak panjang dan tipis, kemudi miring,
pendek dan tipis (Saladin 1983).
C. POTENSI SAPI PESISIR SEBAGAI PENGHASIL DAGING
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus meningkat,
namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi
yang memadai. Pada periode tiga tahun terakhir, sejak 2007 sampai dengan 2009,
laju pertumbuhan penyediaan daging dari produksi lokal lebih rendah dibandingkan
konsumsinya (Direktorat Jenderal Peternakan 2009a). Kondisi tersebut
menyebabkan kontribusi sapi potong terhadap produksi daging nasional masih
rendah (Mersyah 2005; Santi 2008) sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar
antara permintaan dan penawaran (Setiyono et al. 2007). Pemerintah
memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2014 sebesar 467.000 ton
(Direktorat Jenderal peternakan 2009a). Populasi sapi potong pada
tahun 2010 tercatat 14,824 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2011).
Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang
terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan
impor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan (Priyanti et
al . 1998). Kebijakan impor tersebut dilakukan karena produksi daging
lokal belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan dalam negeri, baik
kuantitas maupun kualitas ( Priyanti et al. 1998; Yusdja et al. 2003). Data
Direktorat Jenderal Peternakan (2011) menunjukkan bahwa impor sapi bibit
pada tahun 2010 mencapai 1.132.835 ekor atau setara dengan US$ 3.018.750,
bakalan 208.583.779 ekor (US$ 445.079.728), daging sapi 90.505.738 ton (US$ 289.506.475),
dan jeroan sapi 49.593.947 ton (US$ 105.357.633). Impor sapi sebanyak itu tentu
akan menguras devisa negara. Oleh karena itu, sudah selayaknya sapi lokal
seperti sapi bali, sapi madura, dan sapi pesisir mendapat perhatian untuk
dikembangkan sebagai penghasil daging. Bangsa sapi lokal terbukti memiliki keunggulan
mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis, memiliki ketahanan cukup baik
terhadap penyakit daerah tropis, dan dapat beradaptasi pada kondisi pakan
(hijauan) yang terbatas dan bergizi rendah. Sapi lokal juga berperan penting dalam
sistem usaha tani di pedesaan dan telah dipelihara peternak dalam waktu yang
lama.
Populasi sapi potong di Sumatera Barat
pada tahun 2010 tercatat 327.013 ekor. Sebagian terdapat di
Pesisir Selatan (sekitar 28%), yang terdiri atas sapi lokal asli setempat
(sapi pesisir) dan sapi lokal pendatang seperti sapi bali, PO, dan hasil
persilangan sapi lokal lainnya, serta sebagian kecil sapi impor, seperti Simmental,
Charolais, Beefmaster, dan persilangannya dengan ternak lokal. Populasi sapi di
Kabupaten Pesisir selatan pada tahun 2010 tercatat 93.581 ekor dengan jumlah
rumah tangga peternak yang terlibat lebih dari 30.000 KK (Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat 2011). Data ini menunjukkan bahwa usaha ternak sapi
pesisir berperan penting sebagai sumber pendapatan masyarakat di
Kabupaten Pesisir Selatan yang sebagian besar bergantung pada sektor
pertanian. Sapi pesisir berperan penting sebagai sumber daging bagi masyarakat
Sumatera Barat. Setiap tahun diperkirakan 7.500– 8.000 ekor sapi atau 16%
dari populasi ternak yang dipotong untuk konsumsi daging di Sumatera Barat
berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan (Dinas Peternakan Provinsi Sumatera
Barat 2002) dan didominasi oleh sapi pesisir. Di Kota Padang, 75% sapi yang
dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Padang adalah sapi pesisir. Selain
itu, sapi pesisir merupakan ternak yang populer untuk hewan kurban,
selain dipelihara sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan jika
diperlukan. Sapi pesisir mampu melahirkan anak setiap tahun sehingga
masyarakat Sumatera Barat menyebutnya dengan nama lokal jawi ratuih atau bantiang
ratuih, yang artinya sapi yang melahirkan banyak anak. Meskipun berukuran
kecil, sapi pesisir memiliki persentase karkas cukup tinggi. Menurut
Saladin (1983), persentase karkas sapi pesisir adalah 50,60%, lebih tinggi dari
persentase karkas sapi ongole(48,80%), sapi madura (47,20%), sapi PO(45%), dan
kerbau (39,30%), namun sedikit lebih rendah dibanding sapi bali (56,90%). Persentase
karkas yang tinggi menunjukkan kemampuan sapi pesisir dalam membentuk daging.
D. KARAKTERISTIK USAHA TERNAK SAPI PESISIR
Potensi sapi pesisir sebagai sapi
potong belum dimanfaatkan secara optimal melalui perbaikan manajemen
pemeliharaan. Sistem pemeliharaan sapi pesisir masih bersifat ekstensif
tradisional. Ternak dilepas sepanjang hari tanpa ada perhatian khusus dari
pemiliknya. Hanya sebagian kecil peternak yang menggembalakan sapi pesisir
dan membuatkan kandang. Sapi memperoleh hijauan pada areal persawahan yang
tidak ditanami padi atau yang sudah dipanen, daerah perkebunan, lahan bera,
semak belukar, pekarangan atau tepi jalan. Pada waktu musim tanam, sebagian
sapi diikat oleh pemiliknya disuatu tempat untuk merumput agar
tidak mengganggu tanaman. Selain itu, petani membuat pagar pada areal
pertanaman agar tidak diganggu oleh ternak yang dibiarkan berkeliaran. Di
samping mendapatkan hijauan dari merumput, sebagian peternak mencari
rumput untuk diberikan kepada ternak pada sore hari, terutama pada musim
tanam padi. Jenis rumput yang ada di padang penggembalaan terbatas, yang
dominan adalah rumput pahit (Axonopus compresus) dan rumput
saruik (Elisina indica), dengan kandungan gizi yang rendah. Menurut
Ginting (1995) dan Djaenudin et al. (1996), untuk memacu peningkatan
produktivitas dan reproduktivitas ternak diperlukan daya dukung pakan baik
kualitas maupun kuantitasnya. Perkawinan sapi pesisir umumnya terjadi secara
alami waktu sapi dilepas mencari pakan di lapangan. Pejantan yang dijadikan
pemacek rata-rata berumur muda (< 2 tahun) karena jumlah pejantan
tidak seimbang dengan jumlah induk yang ada. Bahkan perkawinan sering
terjadi antara induk dan anak dan antar saudara dengan frekuensi silang dalam
yang tinggi (Adrial 2002).
E. PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN SAPI PESISIR
Sifat-sifat unggul sapi
pesisir diharapkan dapat dimanfaatkan dalam upaya peningkatan produksi daging.
Bobot badan yang kecil sangat efisien dalam pemanfaatan ruang, selain daya
adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis dan pakan berkualitas
rendah, serta berperan penting bagi peternak di kawasan pesisir Sumatera Barat.
Kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan pesisir yang miskin hijauan
pakan membuka peluang pengembangan sapi ini di kawasan pesisir di seluruh
Indonesia. Pengembangan sapi pesisir di Sumatera Barat dihadapkan pada berbagai
masalah, antara lain penurunan populasi, penurunan kualitas genetik, dan
ancaman kepunahan. Hal ini diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang
bersifat ekstensif tradisional, di mana sapi dilepaskan sepanjang hari tanpa
perhatian khusus dari peternak. Padang penggembalaan makin menyempit sebagai
akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan pergeseran penggunaan lahan
usaha tani. Dengan makin menyempitnya padang penggembalaan, jumlah
ternak yang ada di areal penggembalaan tidak sebanding dengan luas
lahan dan daya dukung pakan. Akibatnya, tidak jarang sapi berkeliaran masuk ke
halaman rumah penduduk, pasar, terminal, bahkan tidur di jalan raya.
Kondisi ini menyebabkan kinerja produksi dan reproduksi sapi Pesisir makin
rendah. Tingginya permintaan pasar, desakan kebutuhan, dan adanya kebiasaan
masyarakat Pesisir Selatan untuk menjual ternak terbaiknya pada hari raya
Idul Adha menyebabkan tingkat pengeluaran ternak produktif cukup tinggi. Knaap
(1934) melaporkan bahwa penurunan produktivitas ternak disebabkan oleh
pengaruh perdagangan ternak yang berlebihan serta kurangnya ketersediaan
sumber daya pakan. Selanjutnya Hidajati dalam Syamsu et al. (2003)
menyatakan bahwa pengurasan sumber daya ternak akan berakibat pada
penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat karena ternak yang
berkualitas baik tidak tersisakan untuk pembibitan. Masalah lain dalam
pengembangan sapi pesisir adalah terjadinya penurunan mutu genetik. Hal ini
terlihat dari makin mengecilnya ukuran tubuh sapi yang ada sekarang
dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Sulin (2008) melaporkan selama 22
tahun (1982–2004), bobot hidup dan ukuran tubuh sapi pesisir menurun
35%. Hal ini diduga karena terjadinya penurunan mutu genetik. Sapi yang
memiliki potensi genetik baik umumnya dikeluarkan dari populasi sehingga
ternak yang ada di masyarakat merupakan ternak pada kisaran di bawah rata-rata.
Perbandingan bobot badan rata-rata dan ukuran tubuh sapi pesisir serta simpangan
bakunya pada tahun 1983 dan 2002. Penurunan mutu genetik juga terjadi akibat
perkawinan acak antar individu ternak dengan frekuensi silang dalam yang
tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Lasley (1979), Falconer (1981),dan
Warwick et al . (1983) dalam Prasetyo et al . (1992) yang
menyatakan bahwa silang dalam secara terus menerus pada ternak akan menurunkan
penampilan produksi dan reproduksi. Selanjutnya Wello dan Liwa (1991) dalam
Hendrik (1994) menyatakan bahwa penurunan kualitas genetik disebabkan oleh
silang dalam dan pengeluaran bibit yang banyak tanpa disertai seleksi
untuk bibit dalam daerah sendiri.
F. UPAYA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN SAPI PESISIR
Jumlah pemotongan Sapi (untuk kebutuhan
daging), semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada Sapi, menurut laporan DISNAK
Kabupaten Pesisir Selatan (2011), bahwa jumlah pemotongan sapi mencapai 6.478
ekor/tahun. Hal ini akan berdampak semakin terkurasnya populasi sapi terutama
Sapi Pesisir sebagai plasma nutfah pesisir selatan. Keadaan seperti ini akan mengancam sumberdaya
genetik sapi. Diperlukan upaya untuk menyelamatkan dan mengembangkan sapi
terutama sapi Pesisir sebagai salah satu sumberdaya genetik ternak yang perlu
dilestarikan, untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan
pangan, terciptanya lapangan kerja dan peningkatan devisa negara.
Sudah banyak laporan dan kajian tentang
prospek yang cukup baik untuk pengembangan ternak sapi pada beberapa daerah,
namun kurang mendapat perhatian yang serius.
Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sapi
terutama di daerah-daerah sentra sapi lokal yang secara nasional penting. Hal
tersebut dilakukan agar tidak terjadi pengurasan ternak yang berakibat
penurunan populasi.
Sejauh ini petemak tradisional memegang
peranan penting dalam pelestarian ternak asli dan ternak lokal seperti sapi
Pesisir. Di sisi lain ancaman kelestarian sumberdaya genetik datang sebagai
akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran akibat migrasi genetik
yang teijadi. Upaya untuk mempertahankan
kelestarian dan kemumian ternak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan
sumber daya genetik ternak asli yang
mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi.
Baitul
(2012) berpendapat bahwa upaya pengembangan ternak sapi dapat dilakukan sesuai
dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi (bibit,
manajemen, pakan). Dalam upaya
pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal
regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan kelembagaan
serta peningkatan keterampilan dan wawasan para petemak. Pembentukan village
breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok peternak
merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau pembentukan
pusat-pusat/ usaha pembibitan sapi terutama pada wilayah yang memiliki populasi
banyak sapi. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba
keindahan, kontes ternak misalnya dilihat dari performansnya dan bursa hewan,
kegiatan seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul.
Diwyanto dan Handiwirawan (2006),
menyampaikan alternatif program pemuliaan yang dapat diterapkan di kawasan
sumber bibit adalah program pemuliaan inti terbuka (Open Nucleus Breeding
System). Dalam program ini, instansi pemerintah (UPT/UPT Daerah Dinas Peternakan)
atau pihak swasta dapat bertindak sebagai inti yang memelihara temak bibit
dasar. Bibit dasar
diperoleh dengan penjaringan
ternak yang mempunyai kualitas terbaik dalam hal:
1. Daya reproduksi
2. Pertumbuhan
3. Tidak mempunyai cacat
fisik atau turunan
4. Bebas dari segala
penyakit berbahaya.
Sementara itu, UPT Daerah atau swasta
lainnya dapat bertindak sebagai pemelihara ternak bibit induk dan selanjutnya
peternak memelihara. Kegiatan perbaikan
mutu genetik dengan pola terbuka (open nucleus breeding system, ONBS) dan
penjaringan dengan metoda yang tepat, benar, mudah dan murah perlu dimulai dan
dilakukan secara konsisten, Hasil dari penjaringan ini diharapkan dapat
dipergunakan sebagai replacement dan sisanya baru disebarkan untuk keperluan
pengembangan atau komersial.
Pola ONBS ini sangat tepat dilakukan
untuk kawasan village breeding center (VBC) yang terintegrasi dengan pusat
pembibitan ternak unggul, dimana output utamanya adalah pejantan unggul yang
akan dipergunakan oleh Balai (Besar) Inseminasi Buatan. Ancaman terbesar untuk
menerapkan ONBS adalah masuknya
penyakit ketika dilakukan penjaringan sapi betina dari VBC
yang dimasukkan dalam populasi inti.
Kawasan pembibitan pada prinsipnya harus bebas penyakit menular.
Pengadaan pejantan unggul diperlukan
Dalam suatu wilayah atau kelompok peternak sapi pada lokasi yang strategis,
sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok tersebut, hal ini
akan sangat membantu dalam meningkatkan populasi dan produktivitas sapi lokal.
Jika perkawinan dilakukan secara
alam, maka pejantan dapat digilir untuk setiap kelompok.
Seleksi atau pemilihan calon induk dan
pejantan bertujuan untuk menghasilkan anak atau turunan yang baik pada generasi
mendatang. Hal penting yang harus dijadikan prinsip utama dalam pemilihan calon
induk dan pejantan adalah standar ternak yang akan diseleksi perlu disesuaikan
dengan permintaan konsumen atau pasar. Misalnya, pemilihan calon induk dan
pejantan diarahkan untuk menghasilkan temak pedaging, tangkas (balapan), atau penghasil susu.
Kendala dalam seleksi ternak sapi adalah
masih lemahnya identifikasi ternak dan rekording yang dilakukan. Seleksi akan
dapat berjalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data
yang akurat. Peternak di Indonesia sebagaian besar belum melakukan
indentifikasi maupun recording. Kondisi ini memungkinkan teijadinya kawin dalam
keluarga antara bapak dengan anak, atau sebaliknya antara anak dengan induk,
yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat inbreeding.
G. STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI PESISIR
Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi
sapi pesisir perlu dilakukan upaya perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan
sapi pesisir melalui pemurnian genetik, peningkatan mutu
genetik, pembatasan pengeluaran ternak, dan perbaikan manajemen
pemeliharaan. Pemurnian Genetik , Keragaman genetik ternak lokal perlu dipertahankan
untuk tujuan seleksi ataupun pemanfaatan gen tertentu untuk mendapatkan
produktivitas yang diinginkan. Oleh karena itu, mempertahankan keragaman
genetik melalui konservasi penting dilakukan, baik dari aspek keilmuan
maupun sosial ekonomi. Kemurnian genetik sapi pesisir perlu dipertahankan sebagai
cadangan plasma nutfah untuk pengembangan peternakan di masa yang akan
datang tanpa mengurangi kesempatan perbaikan mutu genetiknya, melalui penetapan
kawasan khusus untuk pemurnian genetik sapi pesisir. Untuk itu, pada tahun 2009
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah menetapkan program pengembangan plasma
nutfah sapi pesisir di Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan.
Peningkatan Mutu Genetik
Pola perkawinan yang tidak terkontrol
atau terlalu ketat dapat menyebabkan erosi materi genetik. Upaya memperbaiki
mutu genetik dilakukan melalui seleksi yang diikuti dengan sistem perkawinan
dengan memanfaatkan teknologi reproduksi. Permasalahan dalam sistem reproduksi sapi
pesisir adalah kurangnya ketersediaan pejantan unggul sehingga pejantan
yang dijadikan pemacek adalah sapi-sapi muda yang berumur < 2 tahun. Untuk
mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan regulasi pengeluaran ternak
jantan dari populasi dan seleksi terhadap pejantan yang mempunyai sifat-sifat
unggul untuk digunakan sebagai pemacek. Perkawinan silang (cross
breeding ) dengan bangsa sapi unggul perlu dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas dan reproduksi sapi pesisir tanpa merusak kemurnian
genetiknya. Wijono et al.dalam Suryana (2009) menyatakan perbaikan mutu
genetik sapi bertujuan untuk meningkatkan bobot badan, laju pertumbuhan,
dan efisiensi reproduksi melalui seleksi. Peningkatan produktivitas diupayakan
melalui penyediaan pejantan berkualitas, memperbaiki performa
induk dan sistem perkawinan, penyediaan pakan yang cukup, dan manajemen
pemeliharaan yang memadai. Hasil penelitian Sulin (2008) menunjukkan bahwa
perbaikan manajemen reproduksi melalui inseminasi buatan (IB) antara sapi
pesisir dan sapi unggul mampu meningkatkan performa produksi dan
reproduksi sapi pesisir.
Pembatasan Pengeluaran Ternak
Tingginya permintaan pasar dan desakan kebutuhan
hidup menyebabkan tingginya tingkat pengeluaran ternak dari populasi, terutama
ternak yang berproduktivitas tinggi, sehingga ternak yang tersisa rata-rata
mempunyai kinerja produktivitas yang rendah. Bila kondisi ini tidak
teratasi pada beberapa generasi mendatang, dikhawatirkan akan terjadi
penurunan produktivitas ternak. Pemecahan masalah ini harus melibatkan
berbagai pihak, seperti Dinas Peternakan, perguruan tinggi, lembaga penelitian,
pemerintahdaerah, asosiasi, pedagang, dan peternak. Penegakan peraturan
pemerintah/ undang-undang yang disertai dengan pengawasan dan peningkatan
kesadaran berbagai pihak terkait perlu ditumbuhkembangkan untuk
melestarikan dan meningkatkan produktivitas sapi pesisir. Upaya pemerintah
melalui Dinas Peternakan yang mengatur pengeluaran ternak, terutama ternak
produktif diharapkan dapat menghambat laju penurunan mutu genetik sapi pesisir.
Perbaikan Manajemen Pemeliharaan
Perbaikan manajemen pemeliharaan berpeluang
memacu peningkatan produktivitas dan populasi sapi pesisir. Arzil (2000)
melaporkan bahwa ukuran tubuh sapi pesisir yang dipelihara secara semi intensif
di Kecamatan Bayang dan Batang Kapas lebih besar dibanding sapi yang dipelihara
secara tradisional. Susilawati et al. (2005) melaporkan bahwa penerapan
teknologi usaha tani terpadu dilahan pasang surut dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi 37 kg/ ekor/ siklus pemeliharaan.
Sulin et al. (2006) menyatakan bahwa pemeliharaan sapi pesisir pada peternakan
rakyat memberikan pendapatan yang lebih baik dibanding usaha ternak yang
dilakukan melalui perkawinan dengan IB, dengan keuntungan usaha setiap periode
penggemukan sapi pesisir Rp 844.000 dan untuk sapi silangan dengan IB Rp 606.250.
Agar usaha peternakan sapi pesisir mampu meningkatkan pendapatan petani,
perlu dilakukan pendekatan budidaya melalui sistem produksi berkelanjutan.
Sistem produksi berkelanjutan bisa diterapkan pada tingkat peternak dengan skala
pemeliharaan 4−6 ekor sapi/ KK yang terdiri atas 2−3 ekor sapi jantandewasa
untuk penggemukan dan 2−3 ekor sapi betina dewasa untuk pembibitan. Sapi
hasil penggemukan dapat dijual sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan,
sedangkan sapi betina tetap lestari sebagai bibit. Teknologi budi daya untuk
meningkatkan produktivitas sapi pesisir mencakup penerapan manajemen usaha ternak
terpadu melalui: 1) Pemilihan bibit atau bakalan unggul berdasarkan umur,
ciri-ciri fisik, riwayat keturunan, dan kesehatan. 2) Manajemen perkandangan
dengan teknologi kandang standar. 3) Manajemen pakan melalui introduksi hijauan
makanan ternak unggul, pemanfaatan bahan pakan lokal dan hasil ikutan
produk pertanian, sistem integrasi tanaman ternak, dan teknologi ransum
seimbang berbasis lowexternal input sustainable agriculture (LEISA). 4)
Manajemen reproduksi dengan melakukan seleksi terhadap induk dan pejantan,
mencegah terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding ), dan menerapkan
teknologi IB. 5) Pencegahan dan pengendalian penyakit secara periodik, terutama
penyakit menular, vaksinasi, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan petugas
lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan kejadian penyakit kepada
petugas dan dinas peternakan setempat.
H.
Teori
Pemuliaan Untuk Estimasi Out put
Bibit Sapi Potong dari Suatu Wilayah
Pada suatu wilayah yang masyarakatnya
banyak memelihara sapi potong dan wilayah tersebut tidak masuk wilayah pusat
pembibitan pedesaan (Village Breeding
Center /VBC) atau wilayah binaan BPTU, maka teori pemuliaan ternak dapat
digunakan untuk mengestimasi keluaran (out
put) bibit sapi jantan maupun betina seperti pada Tabel 2 dan 3.
Tabel
2. Out put Sapi Potong
di Pulau Jawa dan Sumatera Tahun
2008.
No
|
Variabel
|
Propinsi
|
Total
|
|||||
Sumbar
|
Sumsel
|
Jabar
|
Jateng
|
Jatim
|
DIY
|
|
||
1.
|
Sisa pejantan (%)
a. jantan
b. Betina
c. Jumlah
|
6,08
13,72
19,80
|
29,07
7,66
19,52
|
13,03
9,53
20,69
|
10,91
13,93
24,84
|
10,54
9,24
19,78
|
7,72
12,19
19,91
|
10,02
11,05
21,07
|
2.
|
Afkir (%)
a. Jantan
b. Betina
c. Jumlah
|
14,25
7,44
21,69
|
3,23
6,32
9,55
|
0,84
4,37
5,21
|
5,26
4,32
9,58
|
4,81
6,59
11,40
|
0,73
4,71
5,44
|
4,15
5,63
10,48
|
Total
|
41,49
|
29,07
|
25,90
|
34,42
|
31,18
|
25,35
|
31,55
|
Sumadi
dkk, 2008
Berdasarkan data pada Tabel 2 digunakan untuk estimasi sapi
potong pengganti dan afkir di Indonesia berdasarkan populasi tahun 2011
seperti pada Tabel 3.
Tabel
3. Out put Sapi
Potong di Indonesia Tahun 2012 .
No
|
Variabel
|
% *)
|
Ekor
|
1.
|
Sisa Pengganti
a. Jantan
b. Betina
c. Jumlah
|
10,02
11,05
21.07
|
1.485.402
1.638.093
3.123.495
|
2.
|
Afkir
a. Jantan
b. Betina
c. Jumlah
|
4,85
5,63
10,48
|
718.982
834.612
1.553.594
|
Total
|
31,55
|
4.677.090
|
*)
Sumadi dkk, 2008
Berdasarkan Tabel 3 dari sapi sisa
pengganti jantan dapat dipilih 10% terbaik sebagai bibit sebanyak 1485 ekor dan
1.336.862 ekor untuk bakalan penggemukan. Sisa pengganti betina dipilih 90%
terbaik sebagai bibit sebanyak 1.474.284 ekor dan 163.809 ekor untuk
pengembangan populasi di seluruh Indonesia.
Estimasi seperti diatas sebaiknya
dihitung setiap 5 tahun sekali dengan estimasi sapi untuk digunakan dalam breeding selama 5 tahun maka setelah 5
tahun populasi sudah ganti semua. Hal ini sekaligus untuk mengukur kemajuan
produktivitas sapi potong pada suatu wilayah.
Disamping itu tersedia sapi afkir jantan
dan betina sebanyak 1.553.594 ekor dan sisa jantan muda pengganti 1.485.402
ekor dengan total 3.038.996 ekor yang dapat dipotong pada tahun 2012 untuk
seluruh Indonesia. Pemotongan sapi tercatat pada tahun 2011 sebanyak 2.239.149
dan tidak tercatat 10% setara 223.915 ekor, total 2.463.064 ekor. Berdasarkan
angka pemotongan sapi tahun 2011, maka ketersediaan sapi siap potong tahun 2012
terdapat kelebihan 575.932 ekor.
I.
Pemuliaan
Ternak Untuk Pemanfaatan Heteroses
Heteroses juga disebut hybrid vigor adalah kejadian dalam suatu
persilangan, yaitu performan hasil keturunannya melampaui rerata performan
kedua bangsa tetuanya. Biasanya heteroses terjadi pada sifat-sifat dengan angka
pewarisan yang rendah, misalnya sifat reproduksi akan menimbulkan heteroses
yang tinggi. Oleh karena itu, persilangan (dua bangsa) bolak-balik pada sapi
Simental dan Peranakan Ongole atau Brahman guna meningkatkan pertumbuhan sifat reproduksi (Gambar 3)
G0 S x B
G1 B x ½ S ½ B
G2
S x ¼
S ¾ B
G3 B
x 5/8 S 3/8 B
G4 5/16 S 11/16 B dan seterusnya
Gambar
3. Persilangan Bolak-Balik dua Bangsa Simental dan Brahman
Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa pada
persilangan bolak-balik antara dua bangsa Simental dan Brahman mulai pada
generasi ketiga dan seterusnya terjadi perbandingan darah 2 : 1. Hal ini dapat
mempertahankan heteroses pertumbuhan dan reproduksi yang relatif tinggi,
sehingga dapat meningkatkan produksi daging. Ilustrasi diatas sangat cocok
untuk menghasilkan sapi komersial di pulau Jawa dengan persilangan antara
Simental atau Limousin dengan sapi PO.
J.
Pemuliaan
Ternak Untuk Pembentukan Bangsa Baru
Pada melakukan persilangan yang dikombinasikan dengan seleksi, maka
dapat dihentikan pada komposisi darah
tertentu, kemudian dikembangbiakkan untuk dijadikan bangsa sapi baru. Misalnya
pembentukan bangsa sapi Brangus (Gambar 4) dari sapi Brahman dan Angus sebagai
berikut:
G0 Br x A
G1 A x ½ Br1/2 A
G2 B x
¼ BR ¾A ¼ Br ¾ A
x B G2
G3 5/8Br 3/8A 5/8 Br 3/8 A G3
G3 x G3
5/8Br 3/8A
|
G4
BRANGUS
Gambar
4. Skema Pembentukan Bangsa Sapi Brangus (5/8 Br 3/8A)
G = Generasi
K.
Pemuliaan
Ternak Untuk Grading Up
Grading
up adalah sistem perkawinan silang yang keturunannya selalu
disilang balikkan (back crossing) dengan
bangsa pejantannya dengan maksud mengubah bangsa induk (lokal) menjadi bangsa
pejantannya (impor).
Gambar
bagan dari komposisi darah dalam persilangan secara grading up adalah sebagai berikut:
SO x J G0
SO x
½ O ½ J G1
SO
x ¾ O ¼ J G2
SO x 7/8 O 1/8 J G3
SO x 15/16
O
1/16 J G4
31/32 O
1/32 J G5
PO
Gambar
5. Skema Pembentukan Sapi Peranakan Ongole (PO) Hasil Grading
Up Sapi Jawa Dengan Pejantan Sumba Ongole (SO)
Pada Gambar 5, menunjukkan hasil grading up sapi Jawa dengan sapi Sumba
Ongole yang pada generasi 4 dan 5 (G4 dan G5) yang
disebut Peranakan Ongole di Pulau Jawa. Sapi PO mempunyai performan menyerupai
sapi Sumba Ongole, sehingga punya kemampuan adaptasi di lingkungan tropis yang
baik dan berfungsi sebagai sapi dwiguna (kerja dan daging) yang besar dan kuat.
KESIMPULAN
Sapi pesisir merupakan sapi lokal
Sumatera Barat yang berpotensi sebagai penghasil daging. Bobot badan dan ukuran
tubuh yang kecil merupakan salah satu penciri bangsa sapi tersebut. Bobot
badan yang kecil sangat efisien dalam pemanfaatan ruang. Daya adaptasi yang
baik terhadap kondisi lingkungan pesisir yang miskin hijauan pakan membuka
peluang sapi ini untuk dikembangkan di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Masalah
dalam pengembangan sapi pesisir adalah rendahnya produktivitas dan
terjadinya penurunan mutu genetik. Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi
sapi pesisir perlu dilakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan
sapi pesisir melalui pemurnian genetik, peningkatan mutu
genetik, pengaturan pengeluaran ternak, dan perbaikan manajemen
pemeliharaan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan penerapan
manajemen terpadu usaha peternakan sapi pesisir melalui pemilihan bibit/ bakalan
unggul, perbaikan manajemen kandang, mana jemen pakan gizi seimbang,
perbaikan manajemen reproduksi, dan pengendalian penyakit.
Penutup
Pemuliaan ternak secara teori maupun
aplikasinya, asalkan tujuan dan arahnya jelas maka akan berdampak sangat
positif dalam meningkatkan populasi, mutu bibit, menciptakan sapi komersial,
bangsa baru dan untuk grading up. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas sapi potong secara umum dan
secara khusus pemuliaan ternak sangat mendukung Program Swasembada Daging Sapi
(PSDS) tahun 2014 di Indonesia.
Daftar Pustaka
Adrial. 2002. Karakteristik
Genetik Eksternal Sapi Lokal Pesisir Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas, Padang.
Anwar, S. 2004. Keragaman
Karakter Eksternal dan DNA Mikrosatelit Sapi Pesisir Sumatera Barat. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Arzil. 2000. Identifikasi Sifat
Kualitatif dan Kuantitatif Sapi Pesisir. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas, Padang.
Badan Pusat Statistik Kab.
Pesisir Selatan. 2011. Pesisir Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Pesisir
Selatan. Painan.
Baitul, A, M. 2012. PROBLEMATIKA
PENGEMBANGAN TERNAK. //localhost/D:/manajemen%20pemuliaan%20ternak.mht
Dinas Peternakan Provinsi
Sumatera Barat. 2002. Statistik Peternakan Sumatera Barat. Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat, Padang. 9 hlm.
Dinas Peternakan Provinsi
Sumatera Barat. 2008. Database Peternakan Provinsi Sumatera Barat Tahun 1999
s/d 2008. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat,Padang, Padang. hlm. 1−19.
Dinas Peternakan Kabupaten
Pesisir Selatan. 2011. Database Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun
2010. Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Painan, Painan. Hlm. 178-179.
Direktorat Jenderal Peternakan
2009a. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta. http://www.ditjennak.go.id/regulasi%5 C blueprint.pdf.
[5 November 2012].
Direktorat Jenderal Peternakan
2011. PopulasiTernak Tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. http://www.ditjennak.go.id/t-bank2.asp.?id=4&ket=POPULASI. [5 November 2012].
Direktorat Jenderal Peternakan
2011. Per-kembangan Volume Impor Ternak danHasil Ternak Tahun 2010.
DirektoratJenderal Peternakan, Jakarta.
http://www.ditjennak.go.id/t-bank2.asp.?id=2&ket=EKSPOR IMPOR. [5 November
2012].
Djaenudin, D., H. Subagio, dan S.
Karama. 1996. Kesesuaian lahan untuk pengembangan peternakan di beberapa
Provinsi di Indonesia.hlm. 165−174. Dalam S. Hastiono, B.Haryanto, Arnold P.
Sinurat, I.K. Sutama,T.D. Soedjana, Soebandrio, P. Ronohardjo,S. Patoutomo, S.
bahri, S. Hardjoutomo, danSupar (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner , Cisarua, Bogor 7−8 November 1995. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Dwiyanto, K. dan E. Handiwirawan,
2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi.
Proseding, Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program
Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5
Agustus 2006. Puslitbang Peternakan
Bekerjasama dengan Direktorat Pembibitan
Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa,
Bogor. Hlm 2- 13.
Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat
Bina Produksi Peternakan. 1985. Standarisasi Bibit Sapi Lokal. Kerja Sama
antara Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Bina Produksi Peternakan,
Jakarta.hlm. 35−38.
Fakultas Peternakan Universitas
Andalas. 1980. Case Study Sapi Lokal Pesisir Selatan. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas, Padang. hlm. 20−25.
Ginting, S.P. 1995.
Supplementation on productive of sheep: principle, strategy andutilize.
Wartazoa 4(1−2): 12−17.Hendrik, M.J. 1994. Pengamatan Populasi dan Ukuran
Fenotipik Sapi Bali dan Sapi Silangan Bali di Sulawesi Utara. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Knaap, W.R. 1934. De Kwantitative
ontwikkeling van den sunderstapel in de residentie Madoera gedurende delaatste
twintig jaren (Perkembangan kualitatif ternak sapi di Keresidenan Madura selama
dua puluh tahun terakhir). Dalam Sapi, terjemahan karangan mengenai sapi di
Madura dan Sumba (Penerjemah R.P. Utoyo). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta. 1979.
Mersyah, R. 2005. Desain Sistem
Budi Daya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah
di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Otsuka, J., T. Namikawa, K.
Nozawa, and H.Martojo. 1982. Statistical Analysis on the Body Measurements of
East Asian Native Cattle and Bantengs: The Origin and Phylogeny of Indonesia
Native Livestock (PartIII). The Research Group of Overseas Scientific Survey.
Prasetyo, S., I P. Sudrana, L.M.
Kasip, Lestari, dan R. Jan. 1992. Pengamatan Sifat Kualitatif dan Kuantitatif
pada Sapi Bali. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan Universitas Mataram. hlm.
25−27.
Priyanti, A., T.D. Soedjana, R.
Matondang, dan P. Sitepu. 1998. Estimasi sistem permintaan dan penawaran daging
sapi di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(2): 71−77.
Saladin, R. 1983. Penampilan
Sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Provinsi
Sumatera Barat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Santi, W.P. 2008. Respons
Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB terhadap Pemberian
Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi,
T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi protein ransum
sapi potong berbasis jeramidan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Peternakan 30 (3): 207−217.
Sugeng, B.Y. 1992. Sapi Potong.
Penebar Swadaya, Jakarta.hlm. 5−7.
Sulin, I. 2008. Identifikasi
performa produksidan service period sapi pesisir dan
hasil persilangan inseminasi buatan di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera
Barat. Jurnal Embrio1: 29−34.
Sulin, I., Saladin, Suardi, Z.
Udin, dan K. Mudikdjo. 2006. Kontribusi pendapatan usaha peternakan rakyat sapi
lokal pesisir dan sapi silang pesisir hasil IB. Jurnal Ilmu-ilmu
Peternakan IX (2): 138−148.
Sumadi, T. Hartatik,
N. Ngadiyono, IGS. Budisatria, H. Mulyadi dan B. Aryadi, 2008. Sebaran Populasi
Sapi Potong di Pulau Jawa dan Sumatera. Kerjasama Asosiasi Pengusaha Feedlot
Indonesia (APFINDO) Jakarta dengan Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Suryana, A. 2009. Pengembangan
Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(1): 29−37.
Susilawati, M. Sabran, R. Ramli,
D.D. Siswansyah, Rukayah, dan Koesrini. 2005. Pengkajian sistem usaha tani terpadu
padi kedelai, sayuran ternak di lahan pasang surut. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2): 176−191.
Syamsu, A.J., L.A. Sofyan, K.
Mudikdjo, dan G.Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30−37.
Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K.
Sejati. 2003. Profildan permasalahan peternakan. Forum Penelitian Agro Ekonomi
21(1): 45−46
boleh minta e-mail nya, gan?
BalasHapusboleh mas, dino.eka.p@mail.ugm.ac.id
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmantap pak ..
BalasHapus