Kamis, 21 Maret 2013

PENILAIAN TERNAK POTONG DAN EVALUASI LANJUT




PENILAIAN TERNAK POTONG DAN EVALUASI LANJUT

“Bobot Hidup dan Fleshing Index Kambing Kacang”



MAKALAH




Oleh:
Dino Eka Putra
12/339995/PPT/00809



PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
 




I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Dalam pengembangan usaha di bidang peternakan ini, peternak akan menghadapi berbagai permasalahan seperti aspek modal,aspek teknis dan aspek pasar terutama sekali dalam penjualan ternak. Dalam tata niaga ternak seperti kambing kacang, bobot hidup dan fleshing index merupakan informasi yang sangat penting untuk diketahui.
Di Indonesia, khususnya Propinsi Sumatera Barat dalam pemasaran ternak potong, bagi para pedagang penafsiran bobot karkas mempunyai kecenderungan yang lebih besar dari pada menggunakan cara-cara lain dalam transaksi jual beli. Untuk mendapatkan bobot karkas yang tinggi pada umumnya berasal dari ternak yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar.
(Williamson dan Payne, 1993) menyatakan bahwa dalam penilaian bobot hidup dan bobot karkas dari seekor ternak dengan menggunakan ukuran-ukuran tubuh, pada umumnya dapat kesalahan kecil.
            Fleshing index adalah merupakan sebuah nilai yang diperoleh dari hasil pembagi bobot karkas dibagi dengan panjang karkas (Santosa, 1994) .Semakin tinggi bobot karkas persatuan panjangnya, maka semakin baik konformasi karkas tersebut artinya jumlah daging yang dihasilkan karkas semakin banyak. Apabila bobot karkas yang dihasilkan lebih rendah persatuan panjangnya maka karkas tersebut mempunyai konformasi yang jelek, atau jumlah daging yang dihasilkan lebih sedikit (Yeates et al, 1975). Karkas yang baik harus penuh dengan perdagingan dimana proporsi tulang sedikit, lemak optimal dan daging banyak.
            Adapun hubungan antara bobot hidup dengan bobot karkas dan panjang karkas, akan memudahkan dalam menentukan bobot hidup optimum yang menghasilkan berat karkas tinggi dan berkualitas baik. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memberi judul makalah iniBobot Hidup dan Fleshing Index Kambing Kacang”
B. Tujuan dan Manfaat
            Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui karakteristik bobot hidup dan fleshing index kambing kacang. Manfaat dari makalah ini diharapkan agar dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternak kambing terutama sekali peternak kambing kacang dalam mengetahu karakteristi fleshing index berdasarkan bobot hidup. Serta menambah pembendaharaan ilmiah dalam bidang peternakan.
 
 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Ternak Kambing Kacang
            Diperkirakan ternak kambing merupakan hewan yang kedua didomestifikasi setelah anjing. Menurut Williamson dan Payne (1993) kambing ada lima spesies: Capra Hircus, kambing sebenarnya, termasuk Bezoar (Capra Hircus dan Aegagrus), Capra Ibex; Capra Cuacasica. Tur caucasia; Capra Pyrenaica, Ibex Spanyol; Capra Falconeri, Makhor.
            Kambing yang kita kenal sekarang ini, diperkirakan diturunkan dari tiga jenis kambing liar; Capra Hircus, berasal dari daerah Pakistan dan Turki. Capra Falconeri, berasal dari daerah sepanjang Kasmir. Capra Prisca, berasal dari daerah sepanjang Balkan (Sosroamidjojo, 1985).
            Menurut Sumaprastowo (1980),kambing mempunyai sifat yang lebih lincah dan sanggup membela diri dengan berkelahi. Beberapa dari bangsa kambing berjenggot dan mempunyai kulit dibagian telinga, kambing jantan mempunyai bau yang khas dan tajam dibanding kambing betina.
            Mulyana (1982), mengemukakan karena adanya modifikasi (penyesuaian bentuk luar tubuh terhadap lingkungan) maka sekarang kita mengenal dari bentuk yang kita lihat dan pelihara. Kambing yang ada di Indonesia sekarang berasal dari: (1) kambing asli yang diternakkan turun-temurun, (2) kambing impor yang diturunkan secara murni, (3) kambing impor yang disilangkan dengan kambing asli Indonesia.
            Kambing kacang merupakan hewan pememah biak berkuku genap dan hampir semuanya merupakan hewan pegunungan yang suka hidup di lereng-lereng curam serta gemar sekali mencari hijauan dedaunan yang terletak disebelah atas (Sarwono, 1991). Lebih lanjut Devendra (1974) menyatakan bahwa kambing sanggup hidup dan berkembang biak di daerah-daerah kering atau lembab serta dapat hidup dengan pakan yang rendah kualitasnya.
            Mengenal asal-usul kambing, kambing kacang yang ada di Indonesia berasal dari India Muka atau Tanah Hindu yang dibawa pertama kali ke Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu (Devendra, 1974). Sementara menurut Sosroamidjojo (1973) dan Soedjai (1975) menyatakan bahwa asal-usul kambing kacang yang terdapat di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun menurut Natasasmita (1978) menyatakan bahwa kambing kacang adalah kambing asli Indonesia.
            Tanda-tanda kambing kacang adalah badan kecil, warna bulu kebanyakan coklat belang hitam, hitam adakalanya putih, bulunya pendek dan kalau dipelihara dengan baik bulunya akan mengkilap (Sosroamidjojo 1973, Soedjai 1975 dan Rumich 1976). Sedangkan menurut Natasasmita (1978) tanda-tanda kambing kacang ialah garis profil lurus atau cekung, daun telinga pendek dengan sifat berdiri tegak mengarah kedepan dengan panjang lebih kurang 15 cm, sedangkan pada yang betina lebih kurang 8 cm. Pada kambing betina bulunya pendek kecuali pada bagian ekornya tumbuh pula bulu panjang pada dagu (jenggot), tengkuk,pundak dan punggung sampai ekor dan paha sebelah belakang warnanya adalah putih, hitam dan cokelat, kebanyakan kambing ini berwarna campuran dari kedua atau ketiga warna tersebut. Tinggi kambing kacang jantan berkisar antara 60-65 cm dan kambing kacang betina berkisar 54-58 cm, sedangkan bobot kambing kacang jantan berkisar 25-30 kg dan betinanya 20-25 kg.

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak
             (Wahid, 1965) dan dari Yunani, serta Cyprus (French, 1970) menyatakan bahwa kambing relative lebih efisien dan ekonomis dalam pemeliharaannya daripada beberapa ternak ruminansia lain dalam fungsi ini. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan perubahan yang meliputi bobot hidup, bentuk dan koposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, tulang dan lemak dan organ serta komponen kimianya terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas.
            Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian, yakni pertumbuhan sebenarnya (true growth) dan pertumbuhan dalam proses penggemukan (fattening). Pertumbuhan sebenarnya meliputi pertumbuhan jaringan otot, tulang dan organ dalam, sedangkan penggemukan meliputi peningkatan jaringan lemak (depot lemak) yang terjadi diantara otot (lemak intermuskuler), lapisan bawah kulit (subkutan), dan terakhir diantara serabut otot (lemak intramuskuler).                                                           
C. Bobot hidup
Menurut Forrest et al. (1975) menyatakan dengan meningkatnya bobot hidup maka bagian-bagian tubuh juga meningkat. Bobot hidup adalah bobot badan yang ditimbang sebelum dilakukan pemotongan setelah pemuasaan selama 12-24 jam (Natasasmita, 1978). Dinyatakan oleh Devendra dan Burns (1994), berat hidup kambing kacang berkisar dari 12,9 sampai 24,7 kg pada yang jantan dan antara 11,2 sampai 19,7 kg pada yang betina.

            Menurut Soeparno (1998) bahwa untuk mencapai bobot hidup dari seekor ternak dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, genetik, jenis kelamin, bangsa, makanan, temperature dan pengangkutan.
D. Fleshing Index
            Fleshing Index adalah bobot karkas yang diperoleh dari seekor ternak dibagi panjang karkas pada saat dipotong (Santosa, 1992). Karkas yang baik harus penuh dengan perdagingan dimana proporsi tulang sedikit, lemak optimal dan daging banyak. Hal tersebut dapat diduga dengan fleshing index.
            Yeates et al. (1975) menyatakan bahwa panjang karkas diukur dari anterior tulang panggul terpotong sampai ujung tulang bahu. Panjang karkas dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan tulang. Menurut Forrest et al. (1975) tulang sangat penting dalam pertumbuhan yang akan menentukan ukuran tubuh ternak. Tulang terlebih dulu tumbuh, karena tulang merupakan kerangka yang menentukan komformasi tubuh, kemudian daging dan terakhir lemak.
            Tulang bersama-sama dengan daging dan lemak akan menentukan komformasi tubuh ternak yang diklarifikasikan ke dalam ternak kurus, sedang dan gemuk. Sebagai contoh ukuran badan dari berbagai tipe kambing secara efektif digunakan untuk memprediksi bobot potong optimum untuk kambing yang digemukkan (Minish dan Fox, 1979). Dengan pengklasifikasian tersebut maka fleshing index yang dihasilkan dari seekor ternak dapat diduga melalui pengukuran panjang karkas dan bobot karkas (Soeparno, 1991).
1.   Bobot Karkas
Bobot karkas dari seekor ternak adalah bobot ternak setelah dipotong, dikeluarkan kulit, kepala, paru-paru, jantung, isi perut, keempat kaki mulai dari carpus sampai tarsus kebawah kecuali ginjal, testes, ekor dan leher semua ikut ditimbang (Soeparno, 1998). Dinyatakan oleh Devendra dan Burns (1994), bobot karkas kambing kacang berkisar dari 5,54 sampai 10.62 kg pada yang jantan.
2. Panjang Karkas
            Panjang karkas dipakai sebagai kriteria dalam penilaian karkas berkaitan erat dengan daging yang diperoleh dari karkas. Soeparno (1998) menyatakan selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komonen tubuh mengalami perubahan termasuk tulang, otot dan lemak yang merupakan komponen utama penyusun tubuh. Tulang sangat penting dalam pertumbuhan yang akan menentukan ukuran tubuh ternak. Tulang lebih dahulu tumbuh karena tulang merupakan kerangka yang menentukan komformasi tubuh, kemudian daging yang terakhir lemak (Forrest et al, 1975). Berdasarkan penelitian Rommy terlihat bahwa rata-rata hasil perhitungan panjang karkas pada kambing kacang umur 1 tahun berkisar sekitar 56,96 cm.
E. Bobot Daging Karkas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Bobot karkas adalah bobot karkas setelah dipotong dikeluarkan seluruh tulang belulangnya (Natasasmita, 1978). Daging merupakan komponen utama karkas yang mempunyai nilai ekonomis sekaligus merupakan faktor utama penentu kualitas/bobot karkas. Mukhtar (1975) mengemukakan bahwa persentase karkas terhadap bobot hidup rata-rata kambing jantan adalah 45, 75 ± 0, 31 % dan betinanya 44, 15 ± 0, 78 %.
            Adapun fakto-faktor yang mempengaruhi bobot karkas. Menurut Soeparno (1995) bahwa untuk mencapai bobot hidup dari seekor ternak dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1. Bangsa Ternak
Menurut Anderson dan Kisser (1963), bahwa karkas kambing sangat berbeda dengan karkas domba. Bila dibandingkan dengan domba, ternak kambing menghasilkan karkas lebih tinggi perunit bobot badan dengan kandungan lemak yang lebih rendah.
Menurut Holmes et al. (1982) bobot badan seekor ternak dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan.
2. Umur
            Umur ternak mempengaruhi bobot badan dan bobot karkas dari seekor ternak, selanjutnya dikatakan oleh Williamson dan Payne (1993), makin dewasa seekor ternak makin bertambah berat hidupnya sampai dewasa lalu berkurang beratnya karena kondisi makin menurun. Parakkasi (1998) menyatakan bahwa ternak dalam keadaan normal bobot badan dewasa akan dicapai pada umur tertentu, jadi faktor umur erat hubungannya dengan bobot atau ukuran badan. Menurut Burton dan Reid (1970) yang dilaporkan dalam Soeparno (1998), bahwa variasi komposisi tubuh sebagian besar didominasi oleh variasi berat tubuh dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur.
3. Jenis Kelamin
            Williamson dan Payne (1959) menyatakan faktor kelamin lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak, terutama pada hewan mamalia jantan dimana hewan yang jantan lebih besar dan lebih berat apabila dibandingkan dengan hewan betina.


4. Pakan
            Pakan adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena adanya pemberian pakan yang baik dan cukup, maka badan ternak tersebut akan bertambah bobot badannya (Maynard dan Loossly. 1956). Selanjutnya dijelaskan bahwa zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan kemampuan berproduksi dibutuhkan pakan yang bernilai gizi tinggi.           
5. Temperatur 
            Williamson dan Payne (1978) bahwa temperatur yang tinggi membuat ternak berkurang nafsu makanannya sedangkan nafsu minumnya bertambah, proses produksi menurun dan akhirnya terjadi penurunan bobot ternak.
6. Kondisi Tubuh
Kondisi tubuh mempunyai hubungan yang erat dengan bobot hidup dan bobot karkas. Ternak yang berkondisi tubuh gemuk mempunyai bobot hidup dan bobot karkas yang lebih tinggi daripada ternak yang berkondisi tubuh sedang dan berkondisi kurus pada umur dan jenis kelamin yang sama (Natasasmita, 1979).
7. Pengangkutan
            Adalah problem yang harus diperhatikan dalam tata niaga ternak (Mosher, 1965). Ditambahkan oleh Ensminger (1969) bahwa penyusutan badan ternak yang diakibatkan pengangkutan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat kekenyangan, jenis dan kualitas makanan yang diberikan selama pengangkutan jarak, alat, lama pengangkutan, cuaca, umur, bobot badan ternak ketika diangkut, jumlah dan jenis ternak pada alat pengangkut serta perlakuan para petugas yang mengangkut ternak tersebut, baik ketika diangkut maupu sewaktu akan dipotong.
F. Penentuan Kondisi Tubuh Ternak
Menurut Suwarno (1980), dalam penentuan kondisi tubuh ternak ditetapkan menurut gambaran keseluruhan tubuh, terutama dengan memperhatikan tonjolan rusuk, tulang panggul, kecekungan lapar dan perdagingan di daerah bahu, pinggang dan paha. Natasasmita (1979), menyatakan kondisi tubuh ternak dapat digolongkan pada kondisi gemuk apabila semua tulang rusuk tidak ada yang kelihatan menyembul keluar, lekuk lapar tidak begitu jelas terlihat dan bila diraba pada pangkal ekor terasa lipatan tebal yang mengandung banyak lemak. Apabila sebagian atau tiga buah tulang rusuk kelihatan menyembul keluar dan lipatan pada bagian pangkal ekor tidak terlalu tebal maka pada kondisi ini digolongkan pada kondisi sedang. Selanjutnya bila penonjolan tulang rusuk dan tulang panggul jelas sekali terlihat serta lekuk laparnya sangat cekung digolongkan pada kondisi kurus.
G. Penentuan Umur Ternak
            Ternak kambing mempunyai empat pasang (8 buah) gigi seri. Gigi seri susu mulai tumbuh pada saat ternak kambing lahir. Setelah anak berumur satu bulan barulah lengkap giginya pada umur tertentu, gigi seri susu akan tanggal dan diganti dengan gigi seri tetap proses tanggal dan pergantian gigi seri ini yang dapat dipakai untuk patokan dalam melakukan penaksiran umur (Rangkuti, 1989).
            Untuk menentukan umur biasanya dilakukan dengan melihat susunan gigi, dimana gigi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu gigi seri dan geraham. Gigi juga dapat dibagi menjadi dua jenis menurut pembentukkannya yaitu gigi susu (temporer) dan gigi tetap (permanen). Gigi seri susu dan tetap hanya ditemukan pada bagian depan dari rahang bawah. Bagian yang sama pada rahang atas tidak ada gigi tapi dilengkapi bantalan keras. Delapan buah gigi seri susu atau tetap tumbuh berpasangan yaitu tengah, tengah dalam, tengah luar dan sudut (Mestika dkk, 1993).

Table 1 : Pergantian Gigi Seri Dihubungkan Dengan Umur Pada Ternak Kambing
No
Pergantian pada Gigi Seri
Umur (tahun)
1.
2.
3.
4.
5.
Gigi seri belum ada yang berganti (I)
Gigi seri dalam berganti (I₁)
Gigi seri tengah dalam berganti (I)
Gigi tengah luar berganti (I)
Gigi seri luar berganti, atau semua gigi seri telah berganti (I)
Kurang dari 1 tahun
1 - 1,5 tahun
1,5 - 2 tahun
2,5  -  3 tahun
3 - 4 tahun
Sumber : Sarwono (1994)
Rumus gigi =
  • Gigi seri ( I ) = Incesivi
  • Gigi taring ( C ) = Canini
  •  Gigi geraham muka ( P ) = Premolaris
  • Gigi geraham belakang ( M ) = Molaris
Pergantian dan pertumbuhan gigi seri kambing sangat teratur waktunya. Gigi seri menggantikan gigi seri susu dengan bentuk yang lebih besar, kuat dan warnanya lebih kekuningan. Berdasarkan pergantian dan pertumbuhan gigi seri, umur kambing bisa ditentukan (Sosroamidjojo, 1985).


KESIMPULAN

       Bobot hidup adalah bobot badan yang ditimbang sebelum dilakukan pemotongan setelah pemuasaan selama 12-24 jam (Natasasmita, 1978). Fleshing Index adalah bobot karkas yang diperoleh dari seekor ternak dibagi panjang karkas pada saat dipotong (Santosa, 1992). Dengan pengklasifikasian tersebut maka fleshing index yang dihasilkan dari seekor ternak dapat diduga melalui pengukuran panjang karkas dan bobot karkas (Soeparno, 1991). Bobot karkas dari seekor ternak adalah bobot ternak setelah dipotong, dikeluarkan kulit, kepala, paru-paru, jantung, isi perut, keempat kaki mulai dari carpus sampai tarsus kebawah kecuali ginjal, testes, ekor dan leher semua ikut ditimbang (Soeparno, 1998). Panjang karkas dipakai sebagai kriteria dalam penilaian karkas berkaitan erat dengan daging yang diperoleh dari karkas. Adapun faktor yang mempengaruhi bobot karkas yaitu bangsa ternak, umur, jenis kelamin, pakan, temperatur, kondisi tubuh ternak dan pengangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, A.L and R. Kisser. 1963. Introduction Animal Science. The Mac Milon Co, New York.

Anggorodi, R. 1984. Ilmu Peternakan Umum. PT. Gramedia, Jakarta.Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.

Devendra, C. 1974. Studien in Nutrition of the Indigenous Goat of Malaya III. The  Requerment for Live-Weight Gain. Malaysian Agricultural Journal 46, 98-118.

Forrest, J.C., E.D. Aberle. H.B. Hedrick, M.D. Judge and R.A. Markel. 1975. Principle of Meat. Sience. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.

Holmes, J.H.G., S. Prasetyo., H.M. Miller and E.A. Scheurman. 1982. The effect  of heat   and humidikon pregnant forsal goats. J. Anim. Production In Australia. Vol. 15:541 – 544.

Maynard, L. A and J.K. Lossly. 1956. Animal Nutrition. Mc. Graw Hill Company Ltd.     New Delhi.

Mestika, I.M. Komang Gede Suryana, I Gusti Lanang Oka, dan Ida Bagus Sutrisna.         1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University  Press, Surakarta.

Mosher, A. T. 1965 Cuting Agricultural Moving Essential for Development and     Modernization. Frendich Proger Publisher, New York.

Mulyana, Wahyu. 1982. Cara Beternak Kambing. Pusdiklat BPLPP Deptan, Jakarta.

Natasasmita, CH. Lenggu, P.H. Hutabarat, P. Suparman, D. Supandi, H.H.Achmad dan R. S. Martodikusumo. 1970 Case Study Production Pemotongan Ternak Daging Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Jendral Peternakan,Departemen Pertanian, Jakarta.

________________. 1979. Ternak Kambing dan Pemeliharaannya. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Parakkasi, A. 1998. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Rangkuti, M. 1989. Pedoman Praktis Beternak Kambing dan Domba Sebagai Ternak Potong. Kasinus, Yogyakarta.

Rumich, B., 1967. The Goat of Indonesia. FAO Region Office, Bangkok.

  Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Santoso, RD dan Mustajab, HK, 1992. Analisa Regresi. Penerbit Andi Offset,       Yogyakarta.

Sarwono, B. 1991. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soedjai, A. 1975. Beternak Kambing. Seri Indonesia Membangun No. 14. Penerbit N. V Masa Baru, Bandung.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press,           Yogyakarta.

________. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press,       Yogyakarta.

Sumaprastowo, T. 1980. Beternak Kambing yang berhasil. Baharata Karya Aksara, Jakarta.

Sosroamidjojo, M, Samad. 1973. Peternakan Umum. Penerbit CV. Yasaguna,        Jakarta.
_________________. 1985. Ternak Potong dan Kerja. Cetakan ke-10. Yasaguna,  Jakarta.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan        Biometrik Edisi 2 Cetakan 2. Alih bahasa B. Sumatri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sudjana 1975. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Bandung.

Williamson, G dan W.J.A Payne 1993. Pengantar peternakan di daerah tropis.        Cetakan pertama. Terjemahan SGN. D. Dan Madja. Gadjah Mada Universitas        Press, Yogyakarta.

Yeates, N.T.M. T.N. Edey dan M.K. Hill. 1975. Animal Science. Reproduction, Climate Meat, Wool. Pergamon Press. Oxford, New York, Toronto, Sidney. 


1 komentar: